Bagaimanakah Hukum Merayakan Tahun Baru dalam Islam?

Setiap tahun, sejumlah besar umat Islam ikut masuk ke dalam euforia perayaan malam Tahun Baru. Mereka mengekspresikan kebahagian entah itu melalui update-an status Facebook, Twitter atau bahkan ikut berpesta untuk merayakan pergantian tahun.

Tapi apakah ini sebuah inovasi dan wajar untuk dilakukan ataukah justru bisa menjatuhkan?

Hukum Merayakan Tahun Baru dalam Islam

Menurut syariat Islam, seorang Muslim tidak diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam aspek perayaan agama yang berhubungan dengan non-Muslim.

Namun, Anda tidak boleh lupa akan peran Anda dalam masyarakat. Kita harus menjadi teladan yang baik bagi orang lain, karena Islam mendorong kita untuk bersikap baik kepada semua orang tanpa adanya bentuk diskriminasi atas perbedaan iman ataupun ras.

Sulit untuk mengkategorikan perayaan tertentu seperti Thanksgiving dan Tahun Baru sebagai suatu perayaan keagamaan.

Berikut ini adalah 4 alasan mengapa umat Islam tidak seharusnya merayakan tahun baru:

DAFTAR ISI

1. Hal ini bertentangan dengan semangat Islam

Ada begitu banyak perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai hal ini:

Pertama, jumlah ulama yang membenarkan perayaan tahun baru berada dalam minoritas mutlak.

Kedua, para ulama yang membenarkan perayaan tahun baru hampir tidak pernah benar-benar merayakan tahun baru sendiri ataupun dengan keluarga, setidaknya mereka tidak melakukan perayaan di depan umum. Hal ini menunjukkan bahwa mereka dapat menerima perayaan tahun baru, tapi tidak lebih dari itu.

Ketiga, banyak ulama menyatakan bahwa pandangan mereka didasarkan pada sejumlah peringatan, bahwa perayaan tahun baru tidak lagi merupakan ritual non-Muslim atau pagan, namun hal tersebut merupakan dakwah yang baik untuk non-Muslim dan tidak melibatkan unsur non-Islami di dalamnya.

2. Ini biasanya melibatkan praktek-praktek non-Islami

Apa hal pertama yang terlintas di kepada Anda ketika membayangkan perayaan malam Tahun Baru?

Ya, letusan kembang api dan bunyian terompet. Anda pasti tidak membayangkan orang-orang duduk dalam satu ruangan lalu membaca Al-Quran & Hadis bersama-sama serta saling mengingatkan untuk menuju kebaikan saat mencapai tengah malam.

Sebaliknya, orang-orang akan menghadiri suatu pesta atau perayaan dengan menggunakan pakaian terbaiknya, berdansa sambil bernyanyi, berharap bahwa malam tersebut menjadi malam terbaik untuk mengakhiri tahun dan menyambut awal yang baru.

Hal ini tentu saja merupakan zona bebas Islam, tidak memiliki dasar atau hubungan apa pun dengan Islam.

3. Apa yang sebenarnya dirayakan?

Setiap perayaan oleh umat Islam perlu dimasukkan ke dalam konteks situasi lokal dan global dari umat. Idul Fitri dan Idul Adha dilakukan dengan memperbanyak doa dan dzikir bagi penderitaan dan sedekah kepada mereka yang membutuhkan.

Namun, perayaan tahun baru tidak seperti itu. Ini adalah perayaan yang benar-benar terputus dari realitas umat lainnya. Hal ini jauh dari nasehat Rasulullah SAW ketika berbicara mengenai umat Islam sebagai satu tubuh.

4. Hal ini secara teknis tidak akurat & pagan

Sebagai Muslim, kita memiliki kalender sendiri yang telah digunakan secara konstan selama 1400 tahun.

Meskipun kita pada akhirnya lebih sering menggunakan kalender Gregorian karena keadaan di luar kendali, kita tahu bahwa Allah SWT telah mentasbihkan penggunaan kalender lunar bagi kita dalam beribadah, dan karena itu juga berlaku dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut kalender Hijriah (diprakarsai oleh Sahabat Umar), tahun baru dimulai pada hari pertama Muharram.

Kalender Gregorian (disebut demikian karena dikembangkan oleh Paus Gregorius) memutuskan tanggal 1 Januari sebagai Tahun Baru untuk merayakan khitan Yesus.

Asalnya, seperti pada begitu banyak hari libur Barat, terletak pada festival Romawi pagan yang terkait dengan Janus, yaitu dewa berkepala dua yang melambangkan perubahan.

**

Ini tentu saja bukan teguran keras, tetapi sebagai pengingat. Ada banyak cara untuk menampilkan perilaku kita dan bertindak sebagai duta iman tanpa harus mengadopsi perayaan orang lain.