Bila kita mengadakan acara, ada kemungkinan satu dari lima orang yang kita undang datang terlambat. Setidaknya, itu di luar negeri sana. Demikian ungkap Fast Company, Selasa (21/01/14).
Sebuah studi yang dilakukan di San Francisco State University menemukan bahwa sekitar 20% penduduk A.S. sering terlambat secara kronis – namun hal itu bukan dikarenakan mereka tak menghargai waktu orang lain. Melainkan, ada sesuatu yang lebih rumit,” ujar kepala peneliti Diana DeLonzor.
“Keterlambatan repetitif (berulang) seringkali terkait karakter kepribadian seperti kecemasan atau kegemaran mencari sensasi,” ungkapnya. “Beberapa orang terserap adrenalin yang terpacu yang menyerupai sprint di menit terakhir menuju garis finish, sementara yang lain mendapat suntikan ego dari jadwal berlebihan serta pengisian setiap waktu dengan berkegiatan.”
Dalam bukunya Never Be Late Again : 7 Cures for the Punctually Challenged (Tak Lagi Terlambat: 7 Langkah Manjur bagi Orang yang Sulit Tepat Waktu), DeLonzor mengatakan hubungan kita dengan waktu seringkali dimulai saat kanak-kanak dan menjadi kebiasaan yang melekat.
“Bila melihat ke belakang, Anda mungkin terlambat atau lebih awal sepanjang hidup Anda – hal itu sebagian bersifat psikologis,” ujarnya. “Kebanyakan orang yang terlambat kronis sangat tak suka terlambat, namun secara mengejutkan kebiasaan ini sulit diatasi. Memberitahu seseorang supaya tepat waktu mirip dengan memberitahu pelaku diet untuk cepat berhenti makan terlalu banyak.”
DeLonzor mengatakan mayoritas orang memiliki kombinasi kebiasaan terlambat dan tepat waktu – biasanya tepat waktu, namun dalam keadaan kalut terburu-buru di menit terakhir – namun kita semua bisa belajar dari mereka yang secara kronis tepat waktu.
DeLonzor berbagi empat kebiasaan yang membuat mereka selalu mencapai hal tersebut:
DAFTAR ISI
Orang yang tepat waktu tahu seberapa lama waktu yang diperlukan untuk segala sesuatu. Berbeda halnya dengan orang yang terlambat secara kronis, mereka terjebak dalam apa yang disebut DeLonzor sebagai “berpikir magis.”
“Jika dulu, 10 tahun lalu, seseorang berhasil mengerjakan sesuatu selama 20 menit, mereka percaya selama itu pulalah suatu pekerjaan bakal selalu terselesaikan,” katanya. “Mereka lupa sekitar 99% dimana pekerjaan itu butuh 30 menit.”
Untuk mengembangkan kebiasaan realistis, DeLonzor menganjurkan belajar kembali menyatakan waktu. Tuliskan menurut Anda seberapa lama waktu yang diperlukan untuk mandi, bersiap di waktu pagi serta berangkat kerja. Orang yang terlambat secara kronis seringkali melenceng dari waktu perkiraan mereka sekitar 25% sampai 30%,” ujar DeLonzor.
Orang yang tepat waktu seringkali datang lebih awal, ujar DeLonzor. “Terlambat membuat mereka stres dan mereka tidak suka merasa terburu-buru,” ungkapnya. “Orang yang terlambat juga mengalami stres dikarenakan keterlambatannya tersebut, namun mereka tak berusaha datang lebih awal; mereka condong menghitung waktu pada menit berlangsungnya.”
Sebagai contoh, untuk rapat pukul 9 pagi, orang yang tepat waktu mencoba datang pukul 8:45 atau 8:50 sehingga menyediakan cukup waktu untuk penundaan tak terduga, seperti kemacetan atau lahan parkir yang penuh.
Orang yang tepat waktu meninjau tujuan secara online, memeriksa laporan lalu lintas sebelum berangkat, beberapa bahkan berkendara menuju tempat baru sehari sebelumnya untuk mengenali rute. Agar tepat waktu, rencanakanlah agar bisa tiba lebih awal.
DeLonzor mengatakan 45% hal yang kita lakukan sehari-hari berlangsung otomatis. “Hidup kita dipenuhi beragam kebiasaan –dari cara Anda menyikat gigi, hingga cara berpakaian dan berangkat kerja,” ujarnya, dengan menambahkan bahwa semua itu penting. “Jika kita tidak mengerjakan sesuatu secara otomatis, kita akan butuh waktu sangat lama untuk menjalani hari.”
Kebiasaan orang yang selalu tepat waktu telah sangat terstruktur. Mereka menganalisa aktivitas harian mereka, sejumlah rutinitas, dan memancangkan diri menjalani semuanya secara teratur.
Berbeda dengan orang yang terlambat secara kronis, mereka tak memiliki struktur dan seringkali surut dalam spektrum kelainan perhatian defisit (attention deficit disorder/ ADD), ujar DeLonzor.
“Daripada memikirkan mengapa rutinitas mereka tidak berfungsi dan mencoba hal berbeda di lain waktmu, orang yang terlambat secara kronis dengan entengnya berharap bahwa esok lebih baik,” ungkapnya. Lakukan semua hal yang dapat dipersiapkan di pagi hari pada malam sebelumnya.”
Tepat waktu seringkali berarti menghadiri rapat atau janji bertemu lebih awal. Orang yang tepat waktu memanfaatkan waktu tambahan lima atau 10 menit untuk memantau email, membaca tiap catatan, atau sekedar menikmati keheningan.
Berbeda dengan orang yang terlambat secara kronis, mereka tak suka waktu menunggu seperti itu. Mereka lebih menyukai ketegangan sprint menit terakhir menuju finish dan ketagihan pada stimulasi sedemikian. Untuk lebih nyaman menghadapi waktu tunggu, bawalah sesuatu untuk mengisi waktu luang itu.
“Mengetahui bahwa Anda memiliki sesuatu untuk mengisi waktu akan membantu (menimbulkan rasa nyaman),” ujar DeLonzor.
[Image: Flickr user David Sim]