Plastisitas otak – juga disebut neuroplastisitas – merupakan istilah aneh bagi kebanyakan orang, dengan kata “plastik” yang memberikan gambaran Tupperware di kepala Anda.
Akan tetapi, plastisitas otak adalah istilah umum yang digunakan oleh ahli saraf, mengacu pada kemampuan otak untuk berubah pada usia berapa pun – baik atau buruk, seperti yang dilansir dari Positscience.com.
Seperti yang akan Anda bayangkan, fleksibilitas ini memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan (atau penurunan) otak kita dan dalam membentuk kepribadian yang berbeda. Ilmu plastisitas otak adalah dasar dari latihan otak yang terbukti secara klinis.
DAFTAR ISI
Plastisitas otak adalah proses fisik. Grey matter (otak) benar-benar dapat mengecil atau menebal, hubungan saraf dapat ditempa dan disempurnakan atau melemah dan terputus. Perubahan dalam otak secara fisik mewujud sebagai perubahan dalam kemampuan kita.
Misalnya, setiap kali mempelajari langkah tarian baru, itu mencerminkan perubahan dalam otak fisik kita: “kabel” (jalur saraf) baru yang memberikan instruksi kepada tubuh kita mengenai cara melakukan langkah. Setiap kali kita lupa nama seseorang, hal ini juga mencerminkan perubahan – “kabel” otak yang pernah terhubung ke memori telah rusak, atau bahkan terputus.
Seringkali, orang berpikir masa kanak-kanak dan dewasa muda sebagai masa pertumbuhan otak – orang muda terus belajar hal-hal baru, melakukan petualangan baru, menunjukkan semangat ingin tahu dan eksploratif. Sebaliknya, dewasa tua sering dianggap sebagai masa penurunan kognitif, dengan orang-orang menjadi lebih pelupa, kurang cenderung untuk mencari pengalaman baru.
Tapi dalam penelitian terbaru menunjukkan bahwa dalam situasi yang tepat, kekuatan plastisitas otak dapat membantu pikiran dewasa tumbuh. Meskipun mesin otak tertentu cenderung menurun dengan usia, ada beberapa langkah orang dapat diambil untuk memasuki plastisitas dan menghidupkan kembali mesin itu. Kita hanya harus mengasah terus otak kita sesuai dengan serangkaian latihan plastisitas otak yang ditargetkan.
Demikian pula dengan orang yang menderita berbagai kondisi kognitif – dari skizofrenia hingga “chemobrain” – mungkin dapat melatih otak mereka untuk berfungsi dengan lebih sehat. Kunci – dan tantangan – terletak dalam identifikasi mekanisme otak yang ditargetkan, dan bagaimana berlatih secara efektif.
Salah satu temuan penting dari penelitian neuroplastisitas terbaru adalah penemuan seberapa dekat indera kita yang terhubung ke memori dan kognisi. Karena saling bergantung, kelemahan dalam satu sering berhubungan dengan – atau bahkan menjadi penyebab – kelemahan yang lain.
Sebagai contoh, kita semua tahu bahwa pasien Alzheimer perlahan-lahan kehilangan memori mereka. Ini salah satunya memanifestasikan bahwa mereka makan lebih sedikit makanan. Kenapa? Ternyata, defisit visual juga merupakan bagian dari Alzheimer. Orang-orang makan lebih sedikit karena mereka tidak bisa melihat makanan, seperti yang dituliskan Alice Cronin-Golomb dalam artikelnya yang berjudul Brain Plasticity and Alzheimers.
Contoh lain adalah perubahan kognitif yang berkaitan dengan usia normal. Saat kita beranjak tua, kita menjadi lebih pelupa. Ini terjadi karena sebagian besar karena otak kita tidak memproses apa yang kita dengar, lihat, dan rasakan sebaik dulu. Akibatnya kita tidak dapat menyimpan gambar dari pengalaman kita dengan jelas, sehingga mengalami kesulitan menggunakan dan mengingatnya kelak.
(foto: resourceful-parenting.com)