Hukum Merayakan Tahun Baru Menurut Islam

waktu baca 13 menit
Senin, 30 Des 2013 11:18 0 56 Tim Redaksi
 

Mayoritas manusia di belahan dunia hingga saat ini masih sangat antusias menyambut perhelatan akbar malam  pergantian tahun yang hanya terjadi satu tahun sekali itu. Meski harus begadang tak karuan, mereka dengan rela dan sabar menunggu detik-detik pergantian tahun menuju tahun yang baru.

Tahun Baru 2014

Namun bagaimanakah pandangan Islam itu sendiri (yang merupakan agama yang hanif) mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti, merayakan, ataupun sekedar mengucap selamat tahun baru itu diperbolehkan? Simak terus tulisan singkat berikut ini.

DAFTAR ISI

Sejarah Tahun Baru Masehi

Perayaan tahun baru pertama kali dilakukan pada tanggal 1 Januari 45 SM (Sebelum Masehi). Tidak lama setalah Julius Caesar dinobatkan sebagai Kaisar Roma, ia lalu memutuskan untuk menggati penanggalan tradisonal yang telah lama digunakan oleh bangsa Romawi sejak abad ke 7 SM.

Dalam mendesain penanggalan (kalender) baru tersebut, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, yakni seorang ahli astronomi dari Iskandariyah. Sosigenes menyarankan agar penanggalan baru tersebut mengikuti revolusi matahari, sebgaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Mesir.

Satu tahun dalam kalender baru tersebut dihitung sebanyak 365 seperempat hari. Sedang Julius Caesar sendiri menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM, sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Tak hanya itu, Caesar juga memerintahkan agar setiap 4 tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis dapat menghindari penyimpangan yang erjadi dalam penangglan (kelender) baru tersebut.

Namun setelah Julius Caesar terbunuh pada tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya sendiri yakni Julius atau yangs ering kita eja hingga saat ini yaitu Juli (bulan Juli). Kemudian bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Caesar yakni Kaisar Augustus, sehingga menjadi bulan Agustus.

Dari sejarah singkat ini saja kita sudah dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir, dan sama sekali bukan dari ajaran Islam. Perayaan tahun baru terjadi menjelang pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dari dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.

Asal muasal tahun baru 1 Januari jelas merupakan praktek dari penyembahan kepada dewa Matahari nya kaum Romawi. Perlu diketahui, bahwa semua perayaan bangsa Romawi pada dasarnya yakni penyembahan kepada dewa matahari dimana mereka menyesuaikan dengan gerakan matahari itu sendiri.

Telah kita ketahui bersama, bangsa Romawi terletak di bagian bumi sebelah Utara dan mengalami 4 musim akibat dari pergerakan matahari. Dalam perhitungan sains era kekinian yang juga telah dipahami bangsa Romawi kuno, musim dingin adalah pertanda mati nya matahari, sebab saat itu matahari bersembunyi di wilayah khatulistiwa bagian selatan.

Sepanjang bulan Desember, matahari akan terus turun ke wilayah khatulistiwa bagian selatan sehingga akan terjadi musim dingin pada wilayah Romawi. Sedang titik terjauh matahari terjadi pada tanggal 22 Desember setiap tahunnya. Lalu akan mulai naik kembali pada tanggal 25 Desember. Matahari tersebut akan terus naik hingga benar-benar terasa sekitar 6 hari kemudian,

Dari penjelasan di atas, perayaan tahun baru bukanlah berasal dari ajaran Islam. Bahkan perayaan tersebut berasal dari praktek pagan bangsa Romawi yang dilanjutkan menjadi peryaan dalam agama Kristen.

Telah jelas bahwa barangsiapa mengikuti perayaan tahun baru adalah suatu keharaman di dalam agama Islam. Kaum muslim dibuat lupa daratan karena keasyikan bersenang-senang, agar mereka lupa penderitaan dan penyiksaan yang terjadi atas saudara-saudara sesama muslim yang berada di belahan lain di luar sana.

Melalui tahun baru ini juga disiarkan dan dipropagandakan secara insentif budaya-budaya barat yang harus diikuti, seperti : pesta minuman keras, pesta kembang api, film-film barat bernuansa fulgar serta persuasif yang ditayangkan di televisi, dan lain sebagainya.

Semua hal tersebut dibungkus dengan rapi dan cantik hingga kebanyakan kaum muslimin justru tertipu serta tanpa sadar mengikuti budaya barat yang sangat jauh dari ajaran Islam. Ungkapan bahwa tahun baru merupakan ’hari raya baru’ milik kaum muslimin pun menjadi wajar dilontarkan, dan mengekor budaya barat pun dianggap menjadi suatu yang lumrah.

Hal ini juga berlaku dalam mengucapkan selamat tahun baru, menyibukkan diri dalam perayaan tahun baru, meniup terompet, dan semua hal yang berkaitan dengan orang-orang kafir.

Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari bagian kaum tersebut” (HR. Abu Daud).

Maka dari itu, ikut merayakan tahun baru dengan segala jenis serta embel-embel kegiatannya merupakan bukti bahwa kita sudah menjadi bagian dari kaumnya orang-orang kafir. Naudzubillahi min dzalik.

KERUSAKAN YANG TERJADI SEPUTAR PERAYAAN TAHUN BARU MASEHI

Ada beberapa hal yang juga ikut melandasi alasan mengapa perayaan tahun baru dilarang dan tidak dianjurkan sama sekali di dalam Islam, antara lain karena:

Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram

Perlu diketahui bahwa perayaan (‘ied) kaum muslimin hanya ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan, “Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, “Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha”.”

Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah menjelaskan bahwa perayaan tahun baru itu termasuk merayakan ‘ied (hari raya) yang tidak disyariatkan karena hari raya kaum muslimin hanya ada dua yaitu Idul Fithri dan Idul Adha. Menentukan suatu hari menjadi perayaan (‘ied) adalah bagian dari syari’at (sehingga butuh dalil).

Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir

Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.

Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?”

Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan benar-benar nyata saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.

Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh). Beliau bersabda, ”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”.

Dari Abu ‘Umair bin Anas dari bibinya yang termasuk shahabiyah anshar, “Nabi memikirkan bagaimana cara mengumpulkan orang untuk shalat berjamaah. Ada beberapa orang yang memberikan usulan.

Yang pertama mengatakan, ‘Kibarkanlah bendera ketika waktu shalat tiba. Jika orang-orang melihat ada bendera yang berkibar maka mereka akan saling memberi tahukan tibanya waktu shalat’. Namun Nabi tidak menyetujuinya.

Orang kedua mengusulkan agar memakai terompet. Nabi pun tidak setuju, beliau bersabda, ‘Membunyikan terompet adalah perilaku orang-orang Yahudi.’ Orang ketiga mengusulkan agar memakai lonceng. Nabi berkomentar, ‘Itu adalah perilaku Nasrani.’ Setelah kejadian tersebut, Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi pun pulang.” (HR. Abu Daud, no.498 dan Al-Baihaqi, no.1704)

Semua orang sadar bahwa membunyikan terompet tahun baru, hakikatnya adalah turut bergembira dan merayakan kedatangan tahun baru. Dan sikap semacam ini tidak dibolehkan. Seorang mukmin yang mencintai agamanya, dan membenci ajaran kekafiran akan berusaha menghindarinya semaksimal mungkin.

Dengan demikian, membunyikan terompet di tahun baru berarti melakukan dua pelanggaran; pertama, membunyikan terompet itu sendiri, yang ini merupakan kebiasaan dan ajaran orang Yahudi dan kedua, perbuatan ini termasuk turut memeriahkan hari raya orang kafir.

Seorang mukmin dilarang untuk ikut gembira meski dalam hati dengn datangnya hari raya (tahun baru) karena bukan hari raya yg diakui oleh Syariat. Selamatkan iman, jangan turut gembira, apalagi ikut-ikutan merayakannya!

Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru

Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun.

“Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan.

Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.

Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat (bermain petasan dan lainnya), mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.

Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud, ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.” Ibnu Mas’ud lantas berkata,  “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.

Mengucapkan Selamat Tahun Baru yang Jelas Bukan Ajaran Islam

Komisi Fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah ditanya, “Apakah boleh mengucapkan selamat tahun baru Masehi pada non muslim, atau selamat tahun baru Hijriyah atau selamat Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?”

Al Lajnah Ad Daimah menjawab, “Tidak boleh mengucapkan selamat pada perayaan semacam itu karena perayaan tersebut adalah perayaan yang tidak masyru’ (tidak disyari’atkan dalam Islam).”

Meninggalkan Shalat Lima Waktu

Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya.

Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik. Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele.

Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, ”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.

Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.

Begadang Tanpa Ada Hajat

Begadang tanpa ada kepentingan yang syar’i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”

Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah.

 Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!” Apalagi dengan begadang ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh).

Terjerumus dalam Zina

Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan.

Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan  jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi.

Mengganggu Kaum Muslimin

Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”

Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.”Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?

Melakukan Pemborosan yang Meniru Perbuatan Setan

Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam?

Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?!  Padahal Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya),  “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27).

Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga

Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang manfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.”

Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”

Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah, bukan dengan menerjang larangan Allah.

Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (QS. Fathir: 37).

Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”

Seorang mukmin dalam mengekspresikan setiap rasa cinta, benci, gembira dan sedihnya semuanya dipola dengan syariat, bukan dibiarkan mengikuti nafsu dan tradisi. Tak patut kita bersuka cita dengan sesuatu yangg bukan syar’i saat banyak saudara kita di Suriah, Gaza, Rohingya dll sedang berduka.

Akhir tahun seharusnya digunakan untuk ber-muhasabah atau intropeksi diri (terlepas itu tahun baru Hijriyah atau tahun baru Masehi) agar di tahun yang akan datang kita bisa menjadi lebih baik lagi. Atau tahun baru bisa kita isi dengan berdoa bersama agar di tahun yang akan datang kita diberi kesehatan, ilmu dan rezeki yang bermanfaat.

Momen tahun baru juga bisa kita gunakan untuk silaturahim berkumpul bersama keluarga. Masih banyak lagi hal positif lainnya yang bisa dilakukan ketimbang hura-hura tidak jelas.

Akan tetapi, muhasabah, silaturahim, dan berdoa bersama bisa dilakukan kapan pun tanpa menunggu momen tahun baru. Jadi, jangan sampai tergiur buat ikut-ikutan merayakan tahun baru ya!

Say no to Tahun Baru-an, terompet, kembang api, dan hura-hura. Semoga amalan kita bisa lebih baik dari kemarin. Aamiin. Semoga Allah membimbing kita kepada kondisi yang lebih diridhai-Nya, tidak menyimpang dari aturan Islam dan tidak bertasyabbuh dengan kaum kafir dalam acara-acara mereka. Wallahu walliyut taufiq

(Dikutip dari berbagai sumber)