Sebuah studi baru menemukan hubungan antara riwayat kanker kulit non-melanoma dan kurangnya resiko penyakit Alzheimer.
Penelitian observasional, yang diterbitkan dalam jurnal Neurology, menganalisis kohort dari 1.102 peserta dari Einstein Aging Study di Albert Einstein College of Medicine Institute of Aging di Bronx, New York.
Para peneliti melaporkan bahwa peserta penelitian dengan riwayat kanker kulit non-melanoma sudah hampir 80% lebih rendah untuk terserang penyakit Alzheimer daripada orang yang tidak memiliki kanker kulit.
Di antara 141 partisipan yang menderita kanker kulit non-melanoma, hanya dua yang mengembangkan penyakit Alzheimer. Namun para peneliti mengatakan mereka masih tidak yakin mengapa kaitan ini ada.
“Tujuan kami adalah mengidentifikasi faktor resiko dan faktor genetik untuk Alzheimer,” kata Richard Lipton, MD, dari Albert Einstein College of Medicine, seorang rekan dari American Academy of Neurology, dan penulis utama studi tersebut.
“Salah satu penjelasan adalah bahwa ada kaitan biologi, dan penjelasan lain adalah ada hubungan antara faktor-faktor resiko. Apa yang perlu kita lakukan adalah memilah alasan untuk asosiasi ini.”
Seperti yang dilansir dari everydayhealth.com, dalam studi ini peneliti mengikuti partisipan selama rata-rata 3,7 tahun. Rata-rata usia partisipan studi adalah 79 tahun.
DAFTAR ISI
Pada awal penelitian, tidak ada subjek yang dilaporkan memiliki demensia, meskipun 109 orang memiliki sejarah kanker kulit.
Selama studi, 32 orang tambahan mengembangkan kanker kulit, sementara 126 dari subjek mengembangkan dementia. Dari subyek dengan dementia, 100 diantaranya memiliki dementia terkait Alzheimer.
“Pada penyakit neurodegeneratif, populasi sel tertentu memiliki kecenderungan untuk mati,” kata Dr. Lipton.
“Pada kanker, sel-sel cenderung membagi di luar kendali. Kesehatan yang baik membutuhkan keseimbangan antara kematian sel dan pembelahan sel. Kanker kulit dapat mencerminkan kecenderungan pembelahan sel, yang melindungi terhadap penyakit Alzheimer. ”
Tapi Lipton juga mengatakan bahwa subjek dalam penelitian dengan riwayat kanker kulit mungkin juga telah menjalani hidup lebih aktif, terlibat dalam kegiatan di luar ruangan seperti berlari, bermain tenis, atau berenang. “Kita tahu bahwa aktivitas fisik dan aktivitas kognitif dapat mencegah Alzheimer,” katanya.
Oleh karena itu, lebih banyak aktivitas fisik juga kemungkinan akan berarti lebih banyak waktu yang dihabiskan di bawah sinar matahari dan di luar yang menyenangkan.
Beberapa ahli, seperti Ahmedin Jemal, PhD, wakil presiden Surveillance & Health Research di American Cancer Society, berspekulasi bahwa temuan ini hanya mencerminkan bagaimana pilihan gaya hidup sehat dapat mengurangi resiko Alzheimer.
“Orang-orang yang mengembangkan kanker kulit lebih mungkin untuk menjadi aktif secara fisik dan jika orang-orang aktif secara fisik, mereka lebih cenderung untuk makan makanan sehat, seperti buah dan sayuran,” katanya.
Dr. Jemal juga mengatakan ada penelitian yang menunjukkan bahwa kadar tinggi vitamin D juga dapat melindungi seseorang dari penyakit Alzheimer. “Untuk tubuh kita mensintesis vitamin D kita perlu sinar matahari,” katanya.
Satu studi yang diterbitkan awal tahun ini dalam Journal of Alzheimer’s Disease, menunjukkan bahwa kadar tinggi vitamin D dapat melejitkan gen tertentu dalam sistem kekebalan tubuh yang mampu membantu melarutkan plak amiloid di otak. Plak ini ditemukan menyebabkan penyakit Alzheimer.
Namun Lipton mengakui ada batasan untuk studinya. Sementara para peneliti tidak menyesuaikan temuan terhadap usia, jenis kelamin, pendidikan, dan ras, mereka tidak mendasarkan analisis apapun pada makanan atau kadar vitamin D.
Dia menambahkan bahwa timnya sedang mencari dana untuk menganalisa sampel darah dari partisipan studi, yang mungkin dapat mendeteksi biomarker berbasis nutrisi tertentu, yang dapat membantu untuk lebih memahami temuan penelitian.
Heather Snyder, PhD, direktur medis dan operasi ilmiah Asosiasi Alzheimer menemukan temuan penelitian ini menarik, tapi ia juga skeptis, karena jumlah insiden kanker kulit dalam banyak penelitian relatif kecil.
Namun, dia mengatakan studi menunjukkan nilai untuk penelitian lebih lanjut.
“Studi ini benar-benar menggarisbawahi kebutuhan untuk memahami mekanisme biologi penyakit,” kata Dr. Snyder. “Jika kita menyoroti mekanisme apa yang mungkin terhubung dalam proses penyakit, jika kita dapat memahami proses-proses penyakit, maka kita bisa mengembangkan terapi.”
(foto: volunteerlocal.com)