Telapak tangan berkeringat, lutut gemetar, pipi memerah, dan lidah kelu saat berbicara, adalah beberapa cara cinta mempengaruhi tubuh kita. Sementara tanda-tanda ini terlihat dengan mata telanjang, sedikit yang tahu apa yang terjadi pada otak ketika jatuh cinta. Dalam American Chemical Society, psikolog Abigail Marsh dari Georgetown University menjelaskan sekilas mengapa cinta terasa indah.
Cinta dan Hormon Perasaan-Baik
Jatuh cinta melibatkan pelepasan hormon perasaan-baik seperti oksitosin yang menjadi bahan bakar ikatan pasangan dalam jangka waktu panjang.
“Mereka yang membangkitkan perasaan romantis dalam diri kita mungkin juga memicu peningkatan oksitosin, yang mengakibatkan peningkatan dopamin ketika Anda menemukan seseorang yang Anda ingin menghabiskan waktu berdua, ” kata Marsh. Hormon cinta bertindak sebagai neurotransmitter dalam otak, yang diproduksi dalam sel-sel saraf lebih daripada sel-sel kelenjar, seperti kebanyakan hormon, menurut Psych Central. Diyakini bahwa gerakan romantis seperti merangkul, memeluk atau mencium dapat menaikkan tingkat oksitosin dalam tubuh, yang membantu meningkatkan ikatan sosial di antara individu.
Dalam ikatan pria-wanita, hormon cinta memainkan peran penting dalam siklus respon seksual manusia. Oksitosin mengubah sinyal otak yang terkait dengan pengakuan sosial melalui ekspresi wajah – karena aktivitas di amygdala – bagian dari otak yang berperan dalam pengolahan rangsangan emosional.
Jika reseptor oksitosin terblokir, itu bisa memotong respon ikatan-pasangan. Hal ini dapat menyebabkan ketidak-tertarikan dalam membangun ikatan dengan orang lain dan mengurangi kemungkinan menjadi intim dengan seseorang. Mereka yang membangkitkan perasaan romantis dalam diri kita lebih cenderung menyebabkan peningkatan pelepasan oksitosin, yang mengarah ke peningkatan dopamin, dan membuat mereka menjadi “seseorang yang kita ingin habiskan waktu bersama.”
Cinta dan Obat Adiktif
Hubungan romantis dapat menyebabkan kecanduan pada orang tertentu seperti sedang terobsesi dengan pemikirannya sepanjang waktu dan kapasitas untuk mengambil resiko agar bisa mendapatkannya. Perilaku ini dianggap mencerminkan orang-orang yang kecanduan obat. Bahan kimia otak yang sama – sejumlah besar dopamin dan norepinpherine – dan jalur otak dan struktur aktif yang sama ketika jatuh cinta, dan ketika sakau pada kokain.
Oleh karena itu, hal ini mengarah pada keyakinan bahwa obat adiktif mempengaruhi otak dengan cara yang mirip dengan cinta, kata Marsh, yang dapat membantu menjelaskan mengapa penarikan seperti gejala putus cinta sangat menyakitkan.
Meskipun banyak yang diketahui tentang neurotransmitter seperti oksitosin, masih ada beberapa misteri yang belum terjawab seperti awalnya perasaan cinta dan dengan siapa kita jatuh cinta. Para peneliti masih tidak cukup tahu tentang cinta seperti emosi lainnya, yang membuat proses jatuh cinta menjadi misteri.